Senin, 22 April 2013


Nama              : Anisatul Farihah
NIM                : 2222100242
Kelas               : V1A / Diksatrasia   
MK                  : Kajian Puisi
http://tunas63.files.wordpress.com/2008/08/puisi-kerawang-bekasi.gif?w=468&h=1022
SEJARAH KERAWANG BEKASI
Puisi Karawang Bekasi karya Chairil Anwar adalah salah satu puisi yang ditulis pada tahun 1957. Puisi ini sebenarnya merupakan satu bentuk pengharapan batin sang penulis terhadap kondisi yang ada. Pengharapan tersebut didasarkan pada perlakuan terhadap para pahlawan yang gugur dan dimakamkan di sepanjang jarak Karawang – Bekasi.
Dengan kepiawaian yang dimilikinya, Chairil Anwar telah menuliskan segala apresiasinya terhadap kondisi dan perasaan para pahlawan yang telah gugur dalam perjuangannya memberikan kemerdekaan bagi bangsa dan negaranya. Puisi Karawang Bekas karya Chairil Anwar merupakan satu cara untuk mengingatkan kita terhadap segala jasa dan perjuangan yang telah dilakukan oleh para pahlawan.
Dibayangkan oleh Chairil Anwar bahwa sebenarnya para pahlawan itu selalu berkomunikasi dengan kita, generasi penerus. Mereka selalu menginginkan agar kita melanjutkan segala perjuangan yang telah dilakukan. Mereka tidak ingin kemerdekaan yang telah didapatkan hilang begitu saja tanpa upaya untuk menjaga atau mengembangkan menjadi lebih baik. Puisi Karawang Bekasi karya Chairil Anwar seakan merupakan jembatan mereka untuk menghubungi kita, generasi muda.
Demikianlah sajak yang ditulis oleh Chairil Anwar (26 Juli 1922 – 28 April 1949) pada tahun 1948, untuk mengungkapkan perasaannya terhadap situasi perang melawan tentara Belanda waktu itu. Sajak ini dapat diresapi dan dimengerti maknanya, apabila kita berdiri di hadapan makam dari ratusan korban pembantaian tentara Belanda di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, dekat Karawang, dan mendengarkan berbagai kisah pilu dari para korban, janda korban dan anak-cucu korban pembantaian.
Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung Rawagede (sekarang terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang), di antara Karawang dan Bekasi, oleh tentara Belanda pada
tanggal 9Desember 1947 sewaktu melancarkanagresi militer pertama. Sejumlah 431 penduduk menjadi korban pembantaian ini.
Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang. Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi, mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan sipil. Pada tanggal 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan pembersihan. Dalam peristiwa ini 35 orang penduduk Rawagede dibunuh tanpa alasan jelas. Peristiwa dikira menjadi inspirasi dari sajak terkenal Chairil Anwar berjudul Antara Karawang dan Bekasi, namun ternyata dugaan tersebut tidak terbukti.
Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan pemerintah Belanda harus bertanggung jawab dan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya.
            Di Jawa Barat, sebelum Perjanjian Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember melancarkan pembersihan unit pasukan TNI dan laskar-laskar Indonesia yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pasukan Belanda yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah Detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen).
Sekitar 130.000 tentara Belanda dikirim ke bekas Hindia Belanda, sekarang Indonesia.Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda memburu Kapten Lukas Kustaryo, komandan kompi Siliwangi - kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade IIDivisi Siliwangi - yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok.
Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang mayor mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjata pun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satu pun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Pemimpin tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin –istilah penduduk setempat: "didrèdèt"- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties), sebuah tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431 jiwa, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Seorang veteran tentara Belanda yang tidak mau disebutkan namanya dari desa Wamel, sebuah desa di propinsi Gerderland, Belanda Timur mengirim surat kebata korban perang sebagai berikut: Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain.Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata dll)Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. Setelah desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Belanda menganggap Rawa Gedeh telah menerima pelajarannya.Semua lelaki ditembak mati oleh pasukan yang dinamai Angkatan Darat Kerajaan. Semua perempuan ditembak mati, padahal Belanda negara demokratis. Semua anak ditembak mati.
Desa Wamel pada tanggal 20 September 1944 diserbu tentara Jerman. 14 warga sipil tewas dibunuh secara keji oleh tentara Jerman. Nampaknya dari peristiwa Wamel ini, sang veteran menulis surat penyesalan tersebut.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan dua orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secara Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.
Pimpinan Republik kemudian mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).
Tahun 1969 atas desakan Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesiė begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman. Di dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede hanya sekitar 150 jiwa. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke pengadilan militer.
Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah ditunjukkan.
Pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede serta berbagai pelanggaran HAM berat lain, hanya sebagian kecil bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Namun hingga kini, Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Pemerintah Belanda tetap menyatakan, bahwa pengakuan kemerdekaan RI telah diberikan pada 27 Desember 1949, dan hanya menerima 17.8.1945 secara politis dan moral –de facto- dan tidak secara yuridis –de jure- sebagaimana disampaikan oleh Menlu Belanda Ben Bot di Jakarta pada 16 Agustus 2005.
Semangat perjuangan mereka begitu bergelora, walau kemudian mereka terpaksa harus mati muda. Tetapi, semangat kepahlawanan mereka tidak pernah padam. Setiap saat, rasanya mereka bangkit dan ikut maju ke medan perang. Bagi mereka, pekerjaan belumlah selesai. Mereka sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi kematian telah menyergap mereka sehingga tidak dapat lagi membuat perhitungan atas gugurnya 4 sampai 5 ribu sahabat mereka.
Kenang, kenanglah kami, adalah sebagian ungkapan yang dituliskan oleh Chairil Anwar sebagai bentuk harapan tulus. Mereka hanya ingin keberadaan mereka tidak dilupakan begitu saja sebab bagi mereka negeri ini adalah jiwanya.
Pengharapan para pahlawan tidak pernah berbatas. Mereka tetap berharap untuk dapat menjaga Bung Karno, menjaga Bung Hatta, menjaga Bung Sjahrir. Mereka tidak rela para pimpinan negeri mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itulah, mereka menitipkan dan berharap agar para pimpinan tetap dijaga.
Meskipun mereka telah terbaring dalam pemakaman sepanjang jarak antara Karawang-Bekasi, tetapi mereka tetap memberikan semangat perjuangan yang tidak ada habisnya. Inilah pengharapan tak berbatas yang sepertinya ingin mereka katakan. Walaupun sebenarnya, mereka telah menjadi tulang belulang yang berserakan antara Karawang-Bekasi.

SUMBER BACAAN