Nama : Anisatul Farihah
NIM :
2222100242
Kelas
: V1A / Diksatrasia
MK :
Kajian Puisi
SEJARAH
KERAWANG BEKASI
Puisi Karawang Bekasi karya Chairil
Anwar adalah salah satu puisi yang ditulis pada tahun 1957. Puisi ini
sebenarnya merupakan satu bentuk pengharapan batin sang penulis terhadap
kondisi yang ada. Pengharapan tersebut didasarkan pada perlakuan terhadap para
pahlawan yang gugur dan dimakamkan di sepanjang jarak Karawang – Bekasi.
Dengan kepiawaian yang dimilikinya,
Chairil Anwar telah menuliskan segala apresiasinya terhadap kondisi dan
perasaan para pahlawan yang telah gugur dalam perjuangannya memberikan kemerdekaan
bagi bangsa dan negaranya. Puisi Karawang Bekas karya Chairil Anwar merupakan
satu cara untuk mengingatkan kita terhadap segala jasa dan perjuangan yang
telah dilakukan oleh para pahlawan.
Dibayangkan oleh Chairil Anwar bahwa
sebenarnya para pahlawan itu selalu berkomunikasi dengan kita, generasi
penerus. Mereka selalu menginginkan agar kita melanjutkan segala perjuangan
yang telah dilakukan. Mereka tidak ingin kemerdekaan yang telah didapatkan
hilang begitu saja tanpa upaya untuk menjaga atau mengembangkan menjadi lebih
baik. Puisi Karawang Bekasi karya Chairil Anwar seakan merupakan jembatan
mereka untuk menghubungi kita, generasi muda.
Demikianlah sajak yang ditulis oleh Chairil Anwar (26 Juli 1922 – 28
April 1949) pada tahun 1948, untuk mengungkapkan perasaannya terhadap situasi
perang melawan tentara Belanda waktu itu. Sajak ini dapat diresapi dan
dimengerti maknanya, apabila kita berdiri di hadapan makam dari ratusan korban
pembantaian tentara Belanda di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, dekat
Karawang, dan mendengarkan berbagai kisah pilu dari para korban, janda korban
dan anak-cucu korban pembantaian.
Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung Rawagede (sekarang
terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang),
di antara Karawang dan Bekasi, oleh
tentara Belanda pada
tanggal 9Desember 1947 sewaktu melancarkanagresi militer pertama. Sejumlah 431
penduduk menjadi korban pembantaian ini.
Ketika
tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang.
Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi,
mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan sipil. Pada tanggal 4 Oktober 1948, tentara Belanda
melancarkan pembersihan. Dalam peristiwa ini 35 orang penduduk Rawagede dibunuh
tanpa alasan jelas. Peristiwa dikira menjadi inspirasi dari sajak terkenal Chairil Anwar berjudul Antara Karawang dan Bekasi,
namun ternyata dugaan tersebut tidak terbukti.
Pada
14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan pemerintah Belanda harus
bertanggung jawab dan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya.
Di Jawa Barat, sebelum Perjanjian Renville ditandatangani,
tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember
melancarkan pembersihan unit pasukan TNI dan laskar-laskar
Indonesia yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pasukan Belanda
yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah Detasemen 3-9
RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie,
yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen).
Sekitar
130.000 tentara Belanda dikirim ke bekas Hindia Belanda, sekarang Indonesia.Dalam
operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda memburu Kapten Lukas Kustaryo, komandan
kompi Siliwangi - kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade IIDivisi Siliwangi - yang
berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah
Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun
juga gerombolan pengacau dan perampok.
Pada 9 Desember 1947,
sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di bawah pimpinan
seorang mayor mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun
mereka tidak menemukan sepucuk senjata pun. Mereka kemudian memaksa seluruh
penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang.
Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka
ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satu pun rakyat
yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Pemimpin
tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk
laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun. Beberapa orang berhasil
melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83
tahun menuturkan bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang
jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong
dengan senapan mesin –istilah penduduk setempat:
"didrèdèt"- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan,
dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada
kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu
tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan
ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara
Belanda di Rawagede juga melakukan eksekusi
di tempat (standrechtelijke excecuties), sebuah tindakan
yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih
dari 431 jiwa, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan
deras.
Seorang
veteran tentara Belanda yang tidak mau disebutkan namanya dari desa Wamel, sebuah desa di propinsi
Gerderland, Belanda Timur mengirim surat kebata korban perang sebagai berikut:
Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk
menghajar desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain.Saat malam
hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh
tanpa bunyi (diserang,
ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor
senjata dll)Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan
mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut
dibunuh: semuanya ditembak mati. Setelah desa dibakar, tentara Belanda
menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok,
dengan tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Belanda
menganggap Rawa Gedeh telah menerima pelajarannya.Semua lelaki ditembak mati
oleh pasukan yang dinamai Angkatan Darat Kerajaan. Semua perempuan ditembak
mati, padahal Belanda negara demokratis. Semua anak ditembak mati.
Desa Wamel
pada tanggal 20 September 1944 diserbu tentara Jerman. 14 warga sipil tewas
dibunuh secara keji oleh tentara Jerman. Nampaknya dari peristiwa Wamel ini,
sang veteran menulis surat penyesalan tersebut.
Hujan yang
mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa
hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan
desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya.
Seorang ibu menguburkan suami dan dua orang putranya yang berusia 12 dan 15
tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm
saja. Untuk pemakaman secara Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu,
mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya,
sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.
Pimpinan
Republik kemudian mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good
Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun
tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut
yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang
tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak
bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).
Tahun 1969
atas desakan Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti
kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara
kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke
Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian disusun
dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens
omtrent excessen in Indonesiė begaan door Nederlandse militairen in de periode
1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan
oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan
tersebut diterbitkan menjadi buku dengan format besar (A-3) setebal 282
halaman. Di dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang
dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50
tahun setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara
Belanda di Rawagede hanya sekitar 150 jiwa. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang
bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi,
tidak dituntut ke pengadilan militer.
Di Belanda
sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh
tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan
hingga sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan film dokumenter
mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan di Australia. Anehnya, di
Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah ditunjukkan.
Pembantaian
di Sulawesi Selatan dan di Rawagede serta berbagai pelanggaran HAM berat lain,
hanya sebagian kecil bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda,
dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa
Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Namun hingga
kini, Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan RI adalah
17.8.1945. Pemerintah Belanda tetap menyatakan, bahwa pengakuan kemerdekaan RI
telah diberikan pada 27 Desember 1949, dan hanya menerima 17.8.1945 secara
politis dan moral –de facto- dan tidak secara yuridis –de jure- sebagaimana
disampaikan oleh Menlu Belanda Ben Bot di Jakarta pada 16 Agustus 2005.
Semangat perjuangan mereka begitu
bergelora, walau kemudian mereka terpaksa harus mati muda. Tetapi, semangat
kepahlawanan mereka tidak pernah padam. Setiap saat, rasanya mereka bangkit dan
ikut maju ke medan perang. Bagi mereka, pekerjaan belumlah selesai. Mereka
sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi kematian telah menyergap mereka sehingga
tidak dapat lagi membuat perhitungan atas gugurnya 4 sampai 5 ribu sahabat
mereka.
Kenang, kenanglah kami, adalah sebagian ungkapan yang dituliskan oleh Chairil Anwar sebagai bentuk harapan tulus. Mereka hanya ingin keberadaan mereka tidak dilupakan begitu saja sebab bagi mereka negeri ini adalah jiwanya.
Kenang, kenanglah kami, adalah sebagian ungkapan yang dituliskan oleh Chairil Anwar sebagai bentuk harapan tulus. Mereka hanya ingin keberadaan mereka tidak dilupakan begitu saja sebab bagi mereka negeri ini adalah jiwanya.
Pengharapan para pahlawan tidak pernah
berbatas. Mereka tetap berharap untuk dapat menjaga Bung Karno, menjaga Bung
Hatta, menjaga Bung Sjahrir. Mereka tidak rela para pimpinan negeri mengalami
hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itulah, mereka menitipkan dan
berharap agar para pimpinan tetap dijaga.
Meskipun mereka telah terbaring dalam pemakaman sepanjang
jarak antara Karawang-Bekasi, tetapi mereka tetap memberikan semangat
perjuangan yang tidak ada habisnya. Inilah pengharapan tak berbatas yang
sepertinya ingin mereka katakan. Walaupun sebenarnya, mereka telah menjadi
tulang belulang yang berserakan antara Karawang-Bekasi.
SUMBER
BACAAN